NEWSPOST.ID JAKARTA- Pandemi COVID-19 telah mengakibatkan krisis dunia yang sangat hebat.
Semua negara tidak terkecuali menghadapi pertumbuhan ekonomi negatif. Lebih dari 30 juta masyarakat di ASEAN terancam kehilangan pekerjaan.
Semua kalkulasi ekonomi dan bisnis harus dihitung ulang.
Di saat masa sulit seperti sekarang ini, kita percaya masih ada peluang dan kesempatan. Kita harus tetap optimis, walaupun banyak masalah tetapi ada kesempatan besar.
Di tengah pandemi ini, justru kita melihat percepatan perkembangan digitalisasi. Sesuai laporan Sekjen PBB, jaringan seluler telah menjangkau lebih dari 95 persen populasi dunia.
Pada Juni 2020, terdapat 441 juta orang atau sekitar 65 persen populasi ASEAN adalah pengguna internet.
Ketergantungan dunia terhadap teknologi digital makin tinggi, semakin tinggi. Lebih dari 1,5 miliar anak harus belajar dari rumah.
Ratusan juta orang harus bekerja dengan platform virtual.
Online shopping meningkat tajam. Kondisi ini tentu memberikan peluang besar untuk mempercepat transformasi digital.
Di ASEAN, potensi ekonomi digital mencapai US$200 miliar di tahun 2025. Di Indonesia potensi ekonomi digital diperkirakan mencapai US$133 miliar di tahun 2025. Namun, tantangan transformasi digital masih sangat banyak.
Pertama, banyak jenis usaha lama yang tutup, banyak jenis pekerjaan lama yang tutup. Sekitar 56 persen pekerjaan di 5 negara ASEAN terancam hilang akibat otomatisasi.
Kedua, digital gap di negara ASEAN juga masih sangat besar. Penetrasi internet belum merata di seluruh negara ASEAN. Dari 10 negara, hanya 3 negara yang memiliki penetrasi internet di atas 80 persen.
Tantangan-tantangan inilah yang harus kita antisipasi dan harus kita mitigasi.
Bapak dan Ibu sekalian,
Menghadapi tantangan di atas, kita harus melakukan berbagai terobosan. Business as usual bukanlah pilihan.
Kita harus mempercepat transformasi digital, apalagi saat ini kegiatan ekonomi digital ASEAN masih kecil hanya sebesar 7 persen dari total PDB ASEAN. Setidaknya ada tiga hal yang harus kita dorong:
Pertama, memastikan revolusi digital yang inklusif. Revolusi digital yang inklusif membutuhkan 3A (access, affordability, dan ability).
Tiga hal ini harus terus kita upayakan agar demokratisasi akses digital dapat berjalan. Penyiapan infrastruktur digital yang memadai dan merata di seluruh kawasan harus menjadi agenda utama, bukan saja untuk masyarakat di perkotaan namun juga ke desa-desa, dengan harga yang terjangkau dan disertai dengan peningkatan digital literasi melalui upskilling dan reskilling dari sumber daya manusianya.
Yang kedua, ASEAN harus menjadi pemain besar dalam ekonomi berbasis digital. Ekonomi digital harus menjadi kekuatan ekonomi ASEAN.
Kita tidak boleh sekadar menjadi pasar tapi harus menjadi pemain besar. Ekonomi digital harus membantu UMKM kawasan ASEAN untuk masuk dalam rantai pasok global.
UMKM adalah tulang punggung ekonomi ASEAN, karena UMKM mewakili 89-99 persen dari seluruh perusahaan di ASEAN.
Saya yakin percepatan transformasi digital UMKM akan mendorong bangkitnya roda perekonomian kawasan.
Pemerintah masing-masing negara ASEAN harus punya andil yang lebih besar dalam mendorong transformasi digital. Ini penting untuk menjadikan ASEAN menjadi kawasan yang digital friendly.
Indonesia sendiri memiliki ekosistem digital yang menjanjikan. Indonesia mempunyai start-up sebanyak 2193 tahun 2019, kelima terbesar di dunia.
Indonesia juga memiliki 1 decacorn dan 4 unicorn.
Sejak tahun 2018, Indonesia mengembangkan peta jalan Making Indonesia 4.0. Kami membangun industri manufaktur dan pengembangan pusat-pusat inovasi.
Kami memberikan insentif fiskal berupa super tax deduction bagi industri yang berinvestasi di research & development.
Yang ketiga, kita harus memperkuat sinergi untuk menciptakan ekosistem digital yang kondusif di kawasan.
Kita harus bekerja sama untuk mengeliminasi hambatan perdagangan digital, membangun kepastian hukum, penyederhanaan prosedur dan sistem perizinan, membangun sinergi regulasi perdagangan digital, e-commerce dan konektivitas digital, serta memperkuat kemitraan antara pemerintah dan swasta (PPP-Public Private Partnership) untuk memperkuat konektivitas digital.
Sinergi ini harus bersifat inklusif, tidak ada satupun yang boleh tertinggal. Itulah prasyarat jika kita ingin menjadikan kawasan ASEAN sebagai pemenang dalam era transformasi digital ini.
Komentar