|
Menu Close Menu

Pelayanan KUA dan Generasi Milenial

Selasa, 31 Maret 2020 | 18.21 WIB

NEWSPOST.ID JAKARTA - Pengguna terbanyak layanan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan adalah kaum milenial. Ini bisa diketahui karena rerata yang akan melangsungkan pernikahan mayoritas adalah anak muda yang berada di kelompok milenial. Sebagai tempat pelayanan publik yang mencatat pernikahan, KUA harus bisa beradaptasi berhadapan dengan generasi umur milenial tersebut.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2017, jumlah generasi milenial mencapai 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari total penduduk. Proporsi tersebut lebih besar dari proporsi generasi sebelumnya seperti generasi X sejumlah 25,74 persen maupun generasi baby boomer ditambah generasi veteran sejumlah 11,27 persen. Demikian juga ditambah generasi Z yang baru mencapai sekitar 29,23 persen.

Badan Pusat Statistik bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2018) memprediksi, pada 2020 ini, yakni tahun dimulainya bonus demografi, generasi milenial berada pada rentang  usia 20-40 tahun. 

Usia tersebut adalah usia produktif yang akan menjadi mesin berbagai aktivitas progresif di Indonesia. Dengan kelebihan itu mereka memiliki kepercayaan yang tinggi.

Di antara ciri kelompok yang juga disebut generasi Y ini adalah kritis dalam memandang persoalan yang dihadapinya, termasuk ketika berhadapan dengan aparatur sebagai penyedia layanan publik. 

Generasi ini juga akrab dengan penggunaan teknologi informasi (tech-savvy). 

Sebelum mengurus dokumen di instansi pemerintah misalnya, biasanya mereka akan mencari terlebih dahulu informasi yang diperlukan baik dari orang lain maupun dari media internet.

Berbekal informasi itulah mereka mendatangi kantor instansi yang dituju. 

Masalahnya, para milenial dilayani oleh generasi yang sama sekali berbeda dengan mereka. 

Mayoritas ASN adalah digital imigrant yang tentu kalah tanggap dalam penggunaan teknologi informasi dari para digital native milenial kita. 

Karakter generasi baby boomers dan generasi X yang menghargai hierarki dan otoritas tentu berlawanan dengan para milenial yang fleksibel dan rebel.

Ketika informasi yang diterima dari oknum aparatur tidak sesuai dengan informasi yang ia peroleh sebelumnya, disinilah persoalan datang. 

Jiwa kritis anak milenial ini akan muncul. 

Dan jika tidak selesai pada saat itu, dia akan menggunakan media yang ada untuk melaporkan keluhannya tersebut, seperti media sosial atau kanal dumas yang tersedia.

Maka, wajar jika masih ada pengaduan masyarakat (dumas) terhadap layanan nikah di KUA yang mindset aparaturnya belum sesuai dengan mindset reformasi birokrasi. 

Praktik mematok biaya nikah yang melebihi ketentuan dan adanya pungutan liar dalam duplikat buku nikah adalah dumas yang paling banyak.

Pendekatan seorang abdi negara yang di luar ketentuan tersebut tentu tidak dapat diterima oleh para milenial. 

Akhirnya, birokrasi kita lebih sering mendapati sumpah serapah via media sosial yang para pegawai senior belum tentu tahu dan dapat mengaksesnya sekalipun.

Seharusnya reformasi birokrasi kita dekat dengan kaum milenial. 

Karenanya, diperlukan kerangka kebijakan komprehensif dan terperinci untuk menjadikan milenial titik tumpu sebagai customer internal maupun eksternal.

Reformasi Birokrasi

Reformasi birokrasi yang sudah bergulir sekian tahun diakui sudah menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan di birokrasi ASN Kementerian Agama. 

Tapi kita tidak bisa menutup mata bahwa masih ada prilaku tercela dari aparatur yang tidak mencerminkan reformasi birokrasi, termasuk masih adanya pungutan liar di KUA Kecamatan.

Peningkatan kesejahteraan penghulu yang sudah berjalan lima tahun juga sudah menunjukkan perbaikan pelayanan berarti. 

Pimpinan di Kementerian Agama pun seolah tidak bosan memberikan pembinaan dan mengingatkan agar selalu bersyukur dengan banyaknya tunjangan yang diterima dengan komitmen untuk tidak pernah melanggar aturan dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Namun, karena ulah satu dan dua oknum, citra KUA kembali jalan tergopoh-gopoh. 

Ibarat kata pepatah, gara-gara setitik nila, rusak susu sebelanga. 

Ini bisa dilihat karena masih ada aduan dari masyarakat tentang adanya pungutan liar, tidak hanya di KUA di pedesaan tetapi juga di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan. 

Tentu reformasi birokrasi di Kementerian Agama harus dituntaskan. 

Ini adalah pekerjaan rumah yang belum selesai. 

Di bawah kendali Jenderal (Purn) Fachrul Razi yang melanjutkan tugas Menteri Agama sebelumnya, saya optimistis reformasi birokrasi di "Kementerian Putih" ini akan berjalan dengan baik. 

Ditambah peran Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam yang baru, menjadi suplemen untuk mengikis kerak dan lemak yang masih tersisa di KUA Kecamatan.

Penerapan Sanksi

Yang tak kalah penting dari upaya memutus mata rantai adanya praktik pungutan liar di KUA adalah penerapan sanksi secara ketat dan dengan hukuman maksimal. 

Penulis menemukan bahwa beberapa oknum pelaku pungli di KUA adalah orang yang sama. 

Meski oknum tersebut sudah di BAP dan diberikan hukuman disiplin berupa mutasi ke KUA lainnya, tapi tidak membuat jera pelaku, dan mengulangi perbuatannya di tempat kerja yang baru. Karenanya, pemberian sanksi yang tidak menimbulkan efek jera ini perlu dievaluasi.

Tulisan ini tidak bermaksud untuk mengistimewakan generasi milenial dalam pelayanan, tapi sebagaimana penulis singgung di atas, generasi Y merupakan titik tumpu dan barometer untuk respon pelayanan yang baik oleh birokrasi kita. 

Jika kita sudah terbiasa berhadapan dengan kaum milenial yang kritis dan karena itu kita sangat hati-hati memberikan pelayanan kepada mereka, maka ini akan mudah dilakukan ketika memberikan pelayanan kepada generasi lainnya.

Semoga!
Bagikan:

Komentar