DHEANMEDIA.COM MALANG - Hujan rintik-rintik yang turun di Desa Tumpukrenteng, Kecamatan Turen, Kabupaten Malang, Minggu (25/11) petang seolah menggambarkan kesedihan yang menimpa Farida, 39. Ia tak menyangka kakaknya, Juari, 41, meregang nyawa dengan cara keji setelah dikeroyok massa pada Minggu (25/11) dini hari kemarin.
Wajah sendu Farida, terlihat jelas sewaktu menyambut para pelayat yang datang ke rumah kerabatnya, Pargimin, 70. Ia ingat betul kejadian nahas yang menimpa kakaknya tersebut. Sebab, hal itu terjadi persis di depan matanya.
Farida bercerita, kisah pilu tersebut bermula pada Minggu (25/11) dini hari sekitar pukul 01.00 WIB. Kakaknya dan istrinya tersebut baru pulang dari melihat pertunjukan kuda lumping di Wajak.
Juari pulang dalam keadaan mabuk. Bahkan, hingga berbusa dan muntah-muntah. Farida yang memang sengaja menunggu kehadiran kakaknya ini panik. Dia berupaya untuk menyadarkan kakaknya yang sempat tak sadarkan diri, hingga memanggil 'orang pintar' untuk menyadarkan kakaknya.
Akhirnya si kakak berhasil sadar kembali. Farida pun membuatkan teh hangat. Juari bisa tidur dengan tenang usai meminum teh buatan adik kesayangannya itu.
Namun, belum lama terdengar keributan dari luar. Sekelompok orang yang ditaksir berjumlah enam orang mendatangi rumahnya. Mereka berteriak memanggil Juari dan memintanya keluar. Farida pun keluar menemui para pencari kakaknya.
"Juari metuo aku onok urusan ambe awakmu (Juari cepat keluar. Saya ada urusan dengan dirimu, Red),” kata Farida menirukan perkataan para pencari kakaknya.
Karena sudah dini hari dan ada anak kecil, Farida pun meminta agar para pencari kakaknya tersebut pulang. "Ngapain sih mas malam-malam ramai-ramai di kampung orang. Wis, sampeyan pulang saja. Apalagi ini ada anak kecil. Maaf jika kakak saya ada salah," kata Farida mengulangi perkataannya waktu itu.
Namun bukannya pulang, enam orang itu justru merangsek masuk. Mereka memecah kaca depan dan merusak rumah Juari. Tak lama kemudian, muncul gerombolan lain yang diperkirakan sudah bersembunyi di tempat lain.
Dia melihat bagaimana kakaknya dipukuli dengan beragam alat. Mulai celurit, pacul, pentungan kayu hingga cor-coran. Semua benda itu dipukulkan dengan membabi buta ke tubuh laki-laki yang pernah mendekam selama 3,5 tahun di lembaga pemasyarakatan (Lapas) Lowokwaru itu.
Farida panik, istri Juari, Jamiatul Masamah, 43 juga panik. Mereka berusaha meminta bantuan warga sekitar. Bahkan Juari juga sempat meminta tolong. Namun sayang, tak seorang pun warga yang keluar rumah dan menolong Juari.
"Aku nggak iso nolong cacakku (Saya tidak bisa menolong kakak saya, Red). Cacakku digepuki koyok tikus. Cacakku menungso guduk tikus (Kakak saya dipukuli seperti tikus. Kakak saya manusia bukannya tikus,Red)," katanya dengan terbata karena sembari menangis.
Sebelum melakukan penganiayaan, mereka telah mematikan lampu penerangan kampung sehingga keadaan gelap gulita. "Kejadiannya cepat. Saya belum sempat menutup pintu, motor masih di luar. Mereka sudah membawa celurit dan senjata lainnya," kata Farida sambil menangis, sementara anaknya yang masih berusia satu tahun mengusap pipi ibunya seolah menenangkan.
Para pengeroyok menyeret Juari yang tidur di ruang tengah. Tanpa ampun, tanpa kata, tanpa tanya, laki-laki yang belum dikaruniai keturunan bersama Masamah itu pun digepuki tanpa ampun.
Ada yang menyabetkan celurit, ada yang memukulkan pentungan, gagang pacul, pacul dan cor-coran. Tanpa ampun mereka menganiaya korban.
Belum puas mereka menganiaya korban yang sudah tak berdaya, dalam kondisi berlumur darah itu para pengeroyok tega menyeret Juari. Posisi tubuh Juari telungkup dengan wajah menghadap aspal. Dia diseret di jalan kampung dengan jarak 100 meter. Juari pun akhirnya tewas.
Komentar